Jumat, 14 Februari 2014

ROBOHNYA SURAU KAMI karya AA Navis


Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah
Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah
ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya
ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana
dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia
sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil
pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau.
Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya,
sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan
segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka
mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat
anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang
terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang
tidak di jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena
aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk
dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan,
seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi
minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di
sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku
tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu.
Dan aku tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu
dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar
baginya ialah karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk
diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar
kampungku yang cocok dengan watak pelakupelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan
bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi
pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah
membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin
tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh
tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah
begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar
dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya
lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang
bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku
sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan?
Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka
mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga
seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin
rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak
pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan,
sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak
kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada
umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku
terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku
nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang
yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka
tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah
dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di
dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu
yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang
masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang
masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu
nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka,
bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebutnyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku
juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia
insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya.
Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya
mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut
terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti
kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan
ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,
karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh
pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan
semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini
kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah
suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar.
Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling
taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di
luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka.
Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang
cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya,
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi
kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri
kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat
tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau
semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah
saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke
neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan
yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di
kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia
bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali.
Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.”
—the end—

Sinopsis Robohnya Surau Kami



Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis

1. Sinopsis
Cerpen “Robohnya Surau Kami” ini bercerita tentang seorang kakek yang hidupnya dihabiskan sebagai seorang penjaga surau (Garin). Namun, karena suatu peristiwa, kakek penjaga surau itu meninggal bunuh diri dengan sangat mengenaskan. Penyebab tertekannya kondisi psikologis dari kakek penjaga surau itu sehingga nekat bunuh diri hanyalah sebuah cerita dari Ajo Sidi yang sedikit banyak sangat menyentuh kakek tersebut.



“Pada awalnya, surau yang dijaga oleh kakek adalah sebuah surau yang sangat teduh dan nyaman untuk bersembahyang. Keadaan begitu terbalik saat kakek penjaga surau itu telah meninggal dunia. Surau tersebut menjadi sebuah surau tua yang tidak lagi terawat dan sangat usang. Surau itu berubah menjadi tempat bermain anak-anak, dan yang lebih parah, bilik serta lantai kayu surau itu dijadikan sebagai persediaan kayu bakar bagi penduduk sekitar. Hal tidak mengenakkan ini berawal dari cerita Ajo Sidi tentang seorang yang di dunia taat beragama, yaitu Haji Saleh.

Dalam cerita Ajo Sidi, Haji Saleh adalah seorang yang taat menjalankan agama. Pada saat meninggal dunia, Haji Saleh serta orang-orang lainnya sedang menunggu giliran di akhirat untuk menerima penghakiman Tuhan untuk dimasukkan ke neraka atau ke surga. Saat gilirannya tiba, Haji Saleh tanpa rasa takut menjawab pertanyaan Tuhan tentang apa saja yang dilakukannya di dunia pada masa hidupnya. Haji Saleh dengan percaya diri berkata bahwa pada saat ia hidup di dunia, yang dilakukannya adalah memuji dan menyembah Tuhan, serta menjalankan ajaran agama dengan taat. Namun, Tuhan tidak memasukkan Haji Saleh ke surga, melainkan ke neraka. Di neraka, Haji Saleh bertemu juga dengan teman-temannya di dunia yang ibadahnya juga tidak kurang dari dirinya, bahkan ada juga orang yang sampai bergelar syekh. Akhirnya, karena tidak terima dengan keputusan Tuhan, orang-orang di neraka yang menganggap dirinya tidak pantas dimasukkan ke neraka itu melakukan aksi unjuk rasa kepada Tuhan. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan pembicara bagi mereka. Sekali lagi, Tuhan menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan di dunia. Mereka menjawab bahwa mereka semua adalah warga negara Indonesia yang taat beragama dan negaranya sangat kaya akan sumber daya alam, namun hasilnya sering di ambil oleh pihak asing. Lalu Tuhan menjawab kepada mereka, bahwa mereka semua hanya mementingkan diri mereka sendiri, karena selama hidup mereka hanya berdoa dan menyembah-Nya, tetapi tidak mempedulikan keadaan sekitar, sehingga banyak kekayaan negara mereka sendiri yang diambil oleh pihak asing, sedangkan anak cucu mereka sendiri hidupnya kekurangan.

Dari cerita Ajo Sidi itu, mungkin kakek penjaga surau itu merasa tersinggung dan terpukul. Karena selama hidupnya, kakek itu hanya menyembah dan memuji Tuhan, sampai-sampai tidak memiliki istri serta anak cucu. Kakek itu kemudian merasa marah dan tertekan lalu akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.

2. Kajian Unsur-Unsur Intrinsik
Sebenarnya dari sinopsis di atas kita telah dapat menangkap secara jelas tema cerita dari “Robohnya Surau Kami” ini. Tema dari cerita ini adalah hidup yang dikehendaki Tuhan. Hidup yang dikehendaki Tuhan bukan saja hidup dengan menyembah dan memuji nama-Nya terus menerus dan menjalankan perintah agama dengan baik, melainkan juga hidup yang peka dengan keadaan sekitar. Karena beribadah saja tidaklah cukup. Beribadah harus dibarengi dengan kerja keras dan peduli akan keadaan sekitar khususnya anak cucu, keluarga, serta semua orang di sekitar kita.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa menyembah dan memuji Tuhan serta nemnjalankan ajaran agama dengan taat bukanlah hal yang salah. Namun, terkadang manusia menjalankan ibadah dengan baik hanya supaya dirinya dapat masuk ke surga pada saat ia meninggal dunia. Hal tersebut sebenarnya adalah pemikiran yang sangat egois, dan dalam cerita “Robohnya Surau Kami” ini, Tuhan tidak suka akan manusia yang hidupnya hanya mementingkan diri sendiri. “Imbangilah ibadahmu yang baik dengan kerja keras untuk menyejahterakan hidupmu serta hidup keluarga, saudara, dan semua orang disekitarmu”, mungkin itulah pesan yang ingin disampaiakan oleh penulis melalui cerpen “Robohnya Surau Kami” ini.
Cerpen karya A.A. Navis ini bersetting tempat di sebuah desa kecil, dimana dalam desa tersebut terdapat sebuah surau yang awalnya sangat teduh dan nyaman untuk beribadah, namun kini menjadi sangat usang karena telah ditinggalkan oleh sang penjaga surau. Keusangan surau itu melambangkan kemasabodohan manusia yang tidak mau lagi memelihara apa  yang tidak dijaga lagi, seperti dalam kutipan cerpen berikut:
“Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.”
Selain itu, cerpen ini juga bersetting tempat di akhirat dan neraka. Akhirat adalah tempat dimana Haji Saleh menunggu gilirannya untuk diadili Tuhan dalam cerita Ajo Sidi. Dan neraka adalah tempat bertemunya Haji Saleh dengan orang-orang yang taat beribadah lainnya, sehingga mereka melakukan unjuk rasa kepada Tuhan karena merasa tidak terima diri mereka dimasukkan ke neraka.
Dari segi penokohan, cerpen ini memuat tokoh-tokoh yang cukup sederhana namun dapat menunjukkan kekuatan dan ciri karakter tokohnya masing-masing. Terdapat empat tokoh yang muncul dalam cerpen ini, yaitu kakek, aku, Ajo Sidi, Haji Saleh, istri tokoh aku, dan istri Ajo Sidi.
Kakek adalah tokoh utama (protagonis) dalam cerpen ini. Tokoh kakek digambarkan sebagai seorang tua penjaga surau yang sangat taat dalam menjalankan ajaran agama. Ia memberikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dan menjaga surau tersebut. Kakek adalah orang yang sangat sederhana dan tidak pernah hidup berlebihan. Kehidupannya hanya ditopang dengan pemberian sukarela dari penduduk setempat ataupun yang berkunjung ke surau yang dijaganya itu. Namun sayang, tokoh kakek memiliki kondisi psikologis yang kurang kuat. Saat Ajo Sidi menceritakan cerita tentang Haji Saleh, tokoh kakek langsung hancur keteguhan hatinya. Kakek merasa bahwa semua yang dikorbankannya dalam hidupnya hanya untuk beribadah, menurut cerita Ajo Sidi, semuanya tidaklah benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Tokoh kakek yang merasa semua pengorbanannya tidak berguna, merasa marah kepada Ajo Sidi, walaupun kakek menyangkalnya saat ditanya oleh tokoh aku. Namun menurut saya sendiri, tokoh kakek sebenarnya marah kepada dirinya sendiri, karena ia ternyata telah salah. Kakek mengorbankan hidupnya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dikehendaki oleh Tuhan. Sehingga akhirnya kakek memutuskan untuk bunuh diri.
Selanjutnya, terdapat tokoh aku yang berkedudukan sebagai deutragonis (tokoh yang berpihak pada protagonis). Tokoh aku ini memiliki kepribadian yang menurut saya masih sangat kekanak-kanakan. Ia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan masih cenderung mengikuti emosinya saat bertindak dan berpikir, tanpa menimbang masak-masak mana yang seharusnya dilakukan atau dan tidak dilakukan. Misalnya saat mendengar berita bahwa kakek telah meninggal, tokoh aku secara emosional langsung menganggap bahwa Ajo Sidi-lah yang bersalah, seperti terlihat dalam kutipan dialog antara berikut:
“Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang sangat mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Tokoh selanjutnya yang muncul dalam cerita ini adalah Ajo Sidi. Ajo Sidi merupakan tokoh antagonis dalam cerita ini. Ia yang menceritakan kisah tentang Haji Saleh yang membuat kakek sangat terpukul dan akhirnya bunuh diri. Ajo Sidi sebenarnya memiliki watak yang baik, yakni sering mengingatkan para tokoh masyarakat yang hidupnya dirasa kurang baik. Ajo Sidi suka menyindir orang lain dengan menggunakan cerita-cerita perumpamaan. Banyak pula masyarakat yang terpengaruh oleh ceritanya, karena dianggap sangat “mengena”.
Haji Saleh merupakan tokoh rekaan dari Ajo Sidi. Ajo Sidi menggunakan karakter Haji Saleh untuk menggambarkan orang-orang yang telah merasa dirinya adalah orang yang sangat dikehendaki oleh Tuhan, banyak pahala, dan telah melaksanakan semua ajaran agama dengan taat. Hal itu membuat Haji Saleh bersikap sombong pada saat menunggu pengadilan Tuhan. Ia mencibir kepada orang-orang yang dimasukkan ke neraka, dan melambai senang kepada orang yang masuk ke surga. Padahal, dirinya sendiri dimasukkan ke neraka oleh Tuhan karena hidupnya dianggap terlalu egois dan tidak memedulikan kesejahteraan orang-orang disekelilingnya.
Tokoh selanjutnya yang terdapat dalam cerita ini adalah istri dari tokoh aku serta istri dari Ajo Sidi. Namun, kehadiran dua tokoh itu tidak terlalu penting dalam cerita ini, karena kehadirannya yang hanya sebagai pelengkap dan hanya muncul sebentar di dalam cerita ini, sehingga saya tidak akan membahasnya.
Selanjutnya cerita ini memiliki alur maju mundur. Hal ini terjadi karena dipertengahan cerita, tokoh kakek menceritakan kembali tentang kejadian Ajo Sidi yang bercerita tentang Haji Saleh.”

3. Kesimpulan
Secara umum, cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis ini memiliki cerita yang sangat unik dan menarik. Cerita ini dikemas secara sederhana, tetapi penuh makna dan kritik atas kehidupan manusia pada jaman modern ini. Di mana manusia berlomba-lomba untuk memnuhi kepentingannya sendiri, bahkan dalam masalah agama. Manusia menjalankan agamanya dengan baik dan taat hanya agar dirinya dapat masuk surga. Manusia memuji Tuhannya tidak lagi dengan hati yang tulus karena mencintai-Nya, melainkan hanya agar memperoleh pahala dan semakin mudah jalannya untuk masuk ke surga. Sangat mengenaskan dan memprihatinkan memang, tapi itulah kenyataan pada masa kini yang berhasil ditangkap oleh A.A. Navis dan dituangkankannya ke dalam cerita ini.”

Sumber:http://mulyatirasyid.wordpress.com/kumpulan-cerpen/robohnya-surau-kami-a-a-navis/

Ali Akbar Navis



  Anas Nafis lahir di Padang Panjang, 9 Januari 1932 adalah seorang peneliti, akademisi, seniman, budayawan dan tokoh Sumatera Barat. Ia adalah adik dari sastrawan Ali Akbar Navis. Bapaknya bernama Navis gelar Sutan Marajo, seorang pegawai Staatsspoorwegen (jawatan kereta api zaman Belanda), dan ibunya bernama Sawiyah. Sebagai anak seorang pegawai sebuah jawatan kereta api, keluarga Navis sering berpindah-pindah tempat. Saat masa penjajahan Jepang, keluarga Navis pindah ke Duku. Setahun menjelang Jepang kalah perang, ayah Anas Navis ditangkap Kempeitai lalu dipenjarakan di Bangkinang dan keluarga Anas Navis pindah kembali ke Silaiang, Padang Panjang. Saat awal-awal kemerdekaan, setelah Navis dibebaskan dari penjara, mereka pindah ke Bukittinggi.
Setelah Indonesia merdeka, Anas Nafis kembali bersekolah di SMA. Sebelumnya, saat masa penjajahan Jepang, Anas sekolah di HIS Muhammadiyah, Guguk Malintang. Sambil bersekolah, Anas yang menjadi siswa kelas III SMA itu, juga sudah ikut mengajar sebuah SMP Swasta. Uniknya, SMA dan SMP itu satu gedung sekolah. Pagi Anas menjadi siswa SMA, siangnya mengajar siswa SMP tersebut. Tahun 1952, Anas Nafis lulus ujian terakhir SMA.
Setelah lulus dari SMA, Anas Nafis berencana menjadi guru di daerahnya. Hal itu disebabkan kondisi ibunya, Sawiyah, yang hampir setahun menderita sakit. Namun, Uda-nya A.A Navis menyuruhnya untuk terus melanjutkan sekolah.
Pertengahan Juli 1952 Anas Nafis berangkat ke Jawa untuk melanjutkan sekolah. Namun, saat masih berada di Jakarta, tanggal 2 Agustus 1952, ibunya meninggal dunia, A.A Navis melarangnya pulang dan memberinya semangat untuk terus melanjutkan sekolah. Dengan perasaan campur aduk, Anas Nafis berangkat juga ke Yogyakarta dan mendaftar di Universitas Gajah Mada.
Rasa rindu bertemu saudara yang ditinggal ibunya, mendorong Anas kembali pulang kampung. Desember 1955, Anas menjejakkan kakinya Padang. Berbekal beslit guru yang diperolehnya, Anas Nafis mengajar di Pariaman dalam rangka pengerahan tenaga mahasiswa.
Sejumlah ide bisa mengalir dari cerita Anas Nafis. Sastrawan A.A Navis saat menulis novel Robohnya Surau Kami (1956) idenya berasal dari Merontokkan Surau Anduang Montok Belakang Gudang. Ide yang muncul ketika mereka tinggal di Padang Panjang. Selain peneliti, akademisi, seniman dan budayawan yang meminjam referensi yang dimilikinya, pejabat daerah juga sering memanfaatkan jasa Anas Nafis.
Selain mengumpulkan literatur tentang Minangkabau dan Sumatera Barat, tahun 1987 Anas Nafis menggagas berdirinya Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang. Niat itu mendapat sokongan dari mantan Kepala Bulog, Bustanil Arifin. Kemudian dibangunlah rumah bagonjong untuk dijadikan museum PDIKM yang sejak itu menjadi salah satu tujuan wisata utama Sumatera Barat.
Tahun 2004, 10 naskah cerita rakyat Minangkabau yang ia sadur, diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM). Anas Nafis juga menulis buku Peribahasa Minangkabau (1997) yang sudah mengalami cetak ulang berkali-kali. Sejumlah skenario yang ditulisnya sudah difilmkan di TVRI, seperti Dang Tuanku (1975) dan Perang Kamang (1980), serta mengolah cerita dan sinopsis film Palasik untuk RCTI (1997).
Tanggal 18 April 2007, pada pukul 08.00 WIB, dalam usia 75 tahun, Anas Nafis pergi untuk selama-lamanya. Anas menghembuskan napas di rumahnya, sebuah rumah kontrakan di Jl. Aua Duri No.3A Padang dan dimakamkan di TPU Tungguitam, Padang. AA Navis Yang dikenal dengan cerita pendek nya “Robohnya Surau Kami”  

Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkawin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat akrab dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil.



Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu keridhaanmu menerima segala tiba tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanitadalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Berikut ini adalah salah satu puisi karya chairil anwar yang terkenal berjudul "AKU"

AKU


Oleh :
Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu-sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Sumber: http://whandi.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=2256
http://galigongli.wordpress.com/category/manuskrips-sastra-indonesia/khairil-anwar/


TAN MALAKA


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun[1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Riwayat
  • Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
  • Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
  • Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
  • Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
  • Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
  • Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.


Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
 
Sumber:  http://voiceofsubaltern.blogspot.com/2007/09/biografi-almarhum-tan-malaka-1894-1949.html
http://purwoko.staff.ugm.ac.id/web/?p=60
http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka

MINANGKABAU DAN SISTIM KEKERABATAN

“Hubungan Kekeluargaan Minangkabau, bersuku ke ibu, bersako ke mamak, dan bernasab ke ayah”
hmasoed-96Oleh : H Mas’oed Abidin

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO 

1. Asal usul manusia Minangkabau
Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.
Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.
Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.
Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit.
Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.
Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.
Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.
Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.

Minangkabau menurut sejarah
Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.
Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.
Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.
Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.
Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.
Minangkabau menurut tambo
Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.
Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan.
Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.
Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.
Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.

Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;
(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung.
Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.
Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
Asal kata Minangkabau
Kata Minangkabau mempunyai banyak arti. Merujuk kepada penelitian kesejarahan, beberapa ilmuan telah mengemukakan pendapatnya tentang asal kata Minangkabau.
a. Purbacaraka (dalam buku Riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari kata Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan yang maksudnya adalah daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Hal ini dikaitkannya dengan adanya candi Muara Takus yang didirikan abad ke 12.
b. Van der Tuuk mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang Khabu yang artinya tanah asal.
c. Sutan Mhd Zain mengatakan kata Minangkabau berasal dari Binanga Kamvar maksudnya muara Batang Kampar.
d. M.Hussein Naimar mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Menon Khabu yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulya.
e. Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada disekitar pinggiran sungai-sungai yang ditumbuhi batang kabau (jengkol).
Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Minangkabau itu adalah suatu wilayah yang berada di sekitar muara sungai yang didiami oleh orang Minangkabau.
Namun dari Tambo, kata Minangkabau berasal dari kata Manang Kabau. Menang dalam adu kerbau antara kerbau yang dibawa oleh tentara Majapahit dari Jawa dengan kerbau orang Minang.

Wilayah asal Minangkabau
Membicarakan tentang wilayah Minangkabau, seperti yang dijelaskan di atas, harus dilihat dalam dua pengertian yang masing-masingnya berbeda;
1. Pengertian budaya
2. Pengertian geografis
Dalam pengertian budaya, wilayah Minangkabau itu itu adalah suatu wilayah yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, yang bersatu bersamaan persamaan asal usul, adat, dan falsafah hidup.
Menurut tambo, wilayah Minangkabau disebutkan saedaran gunuang Marapi, salareh batang Bangkaweh, sajak Sikilang Aie Bangih, lalu ka gunuang Mahalintang, sampai ka Rokan Pandalian, sajak di Pintu Rayo Hilie, sampai Si Alang Balantak Basi, sajak Durian Ditakuak Rajo, lalu ka Taratak Aie Hitam, sampai ka Ombak Nan Badabua.
Mengenai batas-batas yang disebutkan di atas, berbagai penafsiran terjadi. Ada yang mengatakan bahwa batas-batas itu adalah simbol-simbol saja tetapi wilayah itu tidak ada yang jelas dan tepat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa batas-batas itu adalah benar dan nagari-nagari yang disebutkan itu ada sampai sekarang. Dalam hal ini tentu kita tidak perlu melihat perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, karena kedua-dua pendapat itu ada benarnya.
Dalam pengertian geografis, wilayah Minangkabau terbagi atas wilayah inti yang disebut darek dan wilayah perkembangannya yang disebut rantau dan pesisir.
a. Darek
Daerah dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan; di sekitar gunung Singgalan, sekitar gunung Tandikek, sekitar gunung Merapi dan sekitar gunung Sago. Daerah darek ini dibagi dalam tiga luhak; (1) Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, buminyo nyaman, aienyo janiah ikannyo banyak, (2) Luhak Agam sebagai luhak nan tangah, buminyo anegk, aienyo karuah, ikannyo lia, (3) dan Luhak Limo Puluah Koto sebagai luhak nan bongsu, buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Tanah Data adalah; Pagaruyung, Sungai tarab, Limo Kaum, Sungayang, Saruaso, Sumanik, Padang Gantiang, Batusangka, Batipuh 10 koto, Lintau Buo, Sumpur Kuduih, Duo puluah koto, Koto Nan Sambilan, Kubuang Tigobaleh, Koto Tujuah, Supayang, Alahan Panjang, Ranah Sungai Pagu.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Agam adalah; Agam tuo, Tujuah lurah salapan koto, Maninjau, Lawang, Matua, Ampek Koto, Anam Koto, Bonjol, Kumpulan, Suliki.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Limo Puluah Koto adalah; luhak terdiri dari Buaiyan Sungai Balantik, Sarik Jambu Ijuak, Koto Tangah, Batuhampa, Durian gadang, Limbukan, Padang Karambie, Sicincin, Aur Kuniang, Tiakar, Payobasuang, Bukik Limbuku, Batu Balang Payokumbuah, Koto Nan Gadang (dari Simalanggang sampai Taram); ranah terdiri dari Gantiang, Koto Laweh, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Taeh Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batingkok, Tarantang, Selo Padang Laweh (Sajak dari Simalanggang sampai tebing Tinggi, Mungkar); lareh terdiri dari Gaduik, Tebing Tinggi, Sitanang, Muaro Lakin, Halaban, Ampalu, Surau, Labuah Gurun ( dari taram taruih ka Pauh Tinggi, Luhak 50, taruih ka Kuok, Bangkinang, Salo, Aie Tirih dan Rumbio)
b. Rantau.
Daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah lunto Sijunjung, sampai perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini disebut sebagai ikue rantau.
Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batang Hari. Daerah ini disebut Minangkabau Timur yang terdiri dari;
a) Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo (sepanjang Batang Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai Dareh), Sitiuang, Koto Basa.
b) Rantau Nan Kurang Aso Duopuluah (rantau Kuantan)
c) Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang Kampar)
d) Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto Ubi, Koto Ilalang, Batu Tabaka)
e) NegeriSembilan
c. Pesisir
Daerah sepanjang pantai barat Sumatera. Dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluah, terdiri dari; Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang kapeh, Painan (Bungo Pasang), seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura,Kerinci,Muko-muko,Bengkulu.

SISTIM KEMASAYARAKATAN/KELARASAN
Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung.
Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi bakuan sosial atau semacam tatanan budaya yang diakui dan menjadi rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam Minangkabau.
Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan instisuti lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.
Rajo Tigo Selo berasal dari keturunan yang sama. Hanya penempatan, tugas serta kedudukannya yang berbeda.
Kedudukan/tempat tinggal
Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Daerah-daerah rantau barat dan timur merupakan daerah yang berada langsung di bawah raja, dengan mengangkat “urang gadang” atau “rajo kaciak” pada setiap daerah. Mereka setiap tahun menyerahkan “ameh manah” kepada raja.
Daerah-daerah yang langsung berada di bawah pengawasan raja
Daerah-daerah rantau tersebut adalah:
Rantau pantai timur
1. Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan) disebut juga Rantau Tuan Gadih.
2. Rantau duo baleh koto (sepanjang batang Sangir) disebut juga Nagari Cati Nan Batigo.
3. Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu
4. Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung dan Kampar)
5. Negeri Sembilan
Rantau pantai barat:
1. Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau Rajo
2. Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.
Perangkat Raja
Basa Ampek Balai
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh 4 orang menterinya yang disebut Basa Ampek Balai dan seorang Panglima Perang, Tuan Gadang Batipuh.
Datuk Nan Batujuh
Di daerah kedudukan (tempat raja menetap/tinggal), setiap raja mempunyai perangkat penghulu tersendiri untuk mengurus masalah masalah daerah kedudukan dan kerumah tangga.
Datuk Nan Batujuh, yang mengurus segala hal tentang wilayah raja (Pagaruyung)
Datuk Nan Barampek di Balai Janggo yang mengurus segala hal tentang kerumahtanggaan.
Pada mulanya, datuk-datuk ini diangkat oleh raja. Jadi, datuk-datuk ini berbeda dengan datuk-datuk di nagari-nagari lainnya. Datuk di nagari lainnya merupakan pimpinan kaum, sedangkan datuk-datuk ini perangkat raja.
Datuk-datuk tepatan raja pada wilayah atau nagari-nagari tertentu ada datuk-datuk yang ditunjuk untuk perpanjangan tangan raja, tempat tepatan raja.
Sistem kelarasan
1. Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan) yang dipimpin oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah.
2. Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan) yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di Limo Kaum.
Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut; duduak samo randah tagak samo tinggi.
Kedudukan raja terhadap kedua kelarasan
Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai pemersatu.
Tempat persidangan
1. Balai Panjang.
Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi Caniago, Rajo-rajo
di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.
2. Balairung
Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung
3. Medan nan bapaneh
Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh dipimpin
Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih
4. Medan nan Balinduang
Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan Balinduang dipimpin
oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.
5. Balai Nan Saruang
Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan Saruang
2. Lareh nan duo
Lareh atau sistem, di dalam adat dikenal dengan dua; Lareh Nan Bunta dan Lareh nan Panjang. Lareh nan Bunta lazim juga disebut Lareh Nan Duo, yang dimaksudkan adalah Kelarasan Koto Piliang yang disusun oleh Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang. Sedangkan Lareh nan Panjang di sebut; Bodi Caniago inyo bukan, Koto Piliang inyo antah disusun oleh Datuk Suri Nan Banego-nego.(disebut juga Datuk Sikalab Dunia Nan Banego-nego) Namun yang lazim dikenal hanyalah dua saja, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah berdirinya kedua kelarasan itu. Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang kakak adik lain ayah, sedangkan Datuk Suri Nan Banego-nego adalah adik dari Datuk Perpatih Nan Sabatang. Di dalam tambo disebutkan;
Malu urang koto piliang, malu urang bodi caniago.
Didalam mamangan lain dikatakan:
Tanah sabingah lah bapunyo, rumpuik sahalai lah bauntuak
Malu nan alun kababagi.
a. Kelarasan Koto Piliang
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Putiah
Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:
Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang
Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang
Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang
Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang
(Ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)
Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang
Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalahdaerah kedudukannya. Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll)
Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan sebagainya.
Misalnya; Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu
Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan
Indomo untuk daerah pesisir barat utara.
Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut.
Catatan : Masing-masing unsur (elemen) dari perangkat adat ini banyak diubah dan berubah akibat ekspansi pemerintahan Belanda dalam mencampuri urusan hukum adat. Namun “batang” dari sistem ini tetap diikuti sampai sekarang.
Langgam nan tujuah (7 daerah istimewa)
Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja. Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai. Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri dan sampai sekarang masih dijalankan.
Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing:
1. Pamuncak Koto Piliang
Daerahnya Sungai Tarab salapan batu
2. Gajah Tongga Koto Piliang
Daerahnya Silingkang & Padang Sibusuak
3. Camin Taruih Koto Piliang
Daerahnya Singkarak & Saningbaka
4. Cumati Koto Piliang
Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik
5. Perdamaian Koto Piliang
Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang
6. Harimau Campo Koto Piliang
Daerahnya Batipuh 10 Koto
7. Pasak kungkuang Koto Piliang
Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan
Sistem yang dipakai dalam kelarasan Koto Piliang:
Memakai sistem cucua nan datang dari langik, kaputusan indak buliah dibandiang.
Maksudnya; segala keputusan datang dari raja. Raja yang menentukan.
Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai, diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat kepada Rajo Adat, dan urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat. Blia kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam. Rajo Alamlah yang memutuskan.
Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalag sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka Basa Ampek Balai, Basa Ampek Balai ka Rajo Duo Selo.
b. Kelarasan Bodi Caniago
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum
Di bawahnya disebut Datuak Nan Batigo; Datuk nan di Dusun Tuo, Datuk nan di Paliang, Datuk nan Kubu Rajo. (Nama-nama Datuk tak disebutkan, karena mereka memakai sistem “gadang balega”, pimpinan dipilih berdasarkan kemufakatan (Hilang Baganti)
Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang nan ampek, lubuak nan tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak buleknyo)
Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
Tanjung Sungayang
Tanjuang Alam
Tanjuang Barulak
Lubuk Sikarah
Lubuk Sipunai
Lubuk Simawang
Sistem yang dipakai dalam kelarasan Bodi Caniago:
Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah. Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang
Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang kerapatan para penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan diuji kebenarannya.
Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum.
Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalah sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, nan bana badiri sandirinyo.
3. Lareh Nan Panjang
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo
Selain itu pula, ada satu lembaga lain yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaan antara Datuk Badaro Putiah di Sungai Tarab (Koto Piliang) dengan Datuk Bandaro Kuniang (Bodi Caniago). Dia bukan dari kelarasan Koto Piliang atau Bodi Caniago, tetapi berada antara keduanya.
Di dalam pepatah adat disebutkan:
Pisang sikalek-kalek utan
Pisang simbatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto piliang inyo antah
Daerah kawasannya disebut : 8 Koto Diateh, 7 Koto Dibawah; Sajak dari guguak Sikaladi Hilie, sampai ka Bukik Tumasu Mudiak, Salilik Batang Bangkaweh.
8 Koto Diateh terdiri dari; Guguak, Sikaladi, Pariangan, Pd.Panjang, Koto Baru, Sialahan, Koto Tuo, Batu Taba.
7 Koto Dibawah terdiri dari; Galogandang, Padang Lua, Turawan, Balimbiang, Kinawai, Sawah Laweh, Bukik Tumasu.
Dengan demikian, ada tiga Datuk Bandaro di dalam daerah kerajaan itu.
Kemudian disusul dengan adanya Datuk bandaro Hitam yang juga punya fungsi sama seperti Datuk Bandaro Putiah, dengan kedudukan di wilayah Minangkabau bagian selatan (Jambu Limpo dllnya)
Penghulu
Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya.
Perangkat itu terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang nan ampek jinih.
Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak yang mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia juga bergelar datuk.
Nama Gelar Penghulu.
Nama gelar penghulu yang mula-mula hanya terdiri satu kata; Bandaro misalnya. Datuk Bandaro.
Pada lapis kedua, atau sibaran baju, nama datuk menjadi dua kata, untuk memisahkan sibaran yang satu dengan sibaran yang lain; Datuk Bandaro Putih, Datuk Badaro Kuniang, Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Bandaro Hitam.
Apabila kemenakan datuk Bandaro ini sudah semakin banyak, dan memerlukan seorang penghulu untuk mengatur mereka, maka mereka memecah lagi gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah sibaran pada peringkat ke empat dari gelar asalnya.
Begitu seterusnya. Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah sibaran dalam tingkat ke sekian.

SISTIM KEKELUARGAAN MATRILINEAL
Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.
Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut. Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.
Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya. Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau. Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.
Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan itu dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbegai persyaratan pula. Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.
Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;
a. Pengaturan harta pusaka
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.
1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu. Jika mereka menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris. Jika mereka menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
* Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.
* Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.
* Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.
2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki. Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;
a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.
b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.
b. Peranan laki-laki
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Dalam hal ini peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.
Sebagai kemenakan
Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam kotensk lain disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak). Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya. Karenanya, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.
Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima lansung waris sako dan pusako dari mamaknya. Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah). Sedangkan kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.
Sebagai mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.
Sebagai penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya. Oleh karena itu, setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari
Peranan di luar kaum
Selain dia berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.
Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
* Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
* Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan.
* Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata.
Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;
Sadalam-dalam payo
Hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando
Hinggo pintu biliak
Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando
Elok hukum dek mamaknyo
c. Kaum dan Pesukuan
Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan/klen tersebut. Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang sama. Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya. Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar. Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan. Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.
Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.
Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku. Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.
Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama. Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang. Dan dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu. Tapi yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;
(1) struktur di dalam kaum
Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut; a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk. b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak. Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai. Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk. Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa. Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.
(2) Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.
Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut. Terdiri dari;
a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah. Sedangkan bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah. Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.
b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan. Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami. Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang B.
c. Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.
Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.
Bundo kanduang sebagai perempuan utama
Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu. Dia punya kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.
Perempuan Minangkabau di masa depan
Perempuan Minangkabau di masa depan, dapat dilihat dengan menjadikan 3 kurun yang ditempuh dalam perjalanan masyarakat Minangkabau sebagai titik-titik untuk membangun sebuah perspektif ke depan. Kurun waktu yang dimaksudkan adalah; masa kehidupan masyarakat tradisional, masa transisi terutama dalam masa penjajahan dan kemerdekaan dan pada zaman modern seperti saat ini. Dalam masa kehidupan masyarakat tradisional, keberadaan perempuan Minangkabau yang dapat dilihat dari dua sumber; teks kaba dan karya sastra. Sebab, kita tidak punya informasi lain selain kedua sumber tersebut. Sedangkan masa transisi dan masa modern dalam dilihat dalam novel-novel modern, kajian-kajian sejarah dan sosiologi. Dengan demikian, dari ketiga masa itu akan dapat dibangun suatu ramalan atau perspektif perempuan Minangkabau di masa depan.
Dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Hanya saja, waktu itu mereka tidak memakai kata emansipasi, persamaan hak, jender dan lain sebagainya sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum wanita barat. Dalam berbagai kaba atau cerita rakyat, perempuan Minangkabau telah menduduki tempat dari pucuk tertinggi sampai terbawah. Dari menjadi seorang raja sampai menjadi seorang inang. Dari perempuan perkasa yang berani membunuh laki-laki lawan ayahnya untuk menegakkan suatu marwah, kehormatan kaumnya sampai kepada perempuan yang hanya bersedia menjadi tempat tidur laki-laki saja. Dari seorang pengayom, pengasuh dan penentu dalam kaumnya, sampai kepada perempuan yang kecewa tak beriman dan bunuh diri. Dari seorang perempuan yang lemah lembut, yang turun hanya sakali sajumaaik dan setelah ditinggalkan suami merantau atau meninggal, langsung membanting tulang untuk meneruskan kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Semua aspek yang digembar-gemborkan oleh perempuan modern, telah tertulis jelas dan gamblang dalam kaba. Itu berarti, bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada.
Dalam masyarakat Minangkabau yang transisi, melalui rujukan sejarah, kita juga dapat melihat keberadaan kaum perempuan yang telah dapat meraih berbagai tingkat dalam kegiatan sosial masyarakatnya. Mulai dari kesuksesan mereka menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, sampai kepada perempuan yang nekad, terutama dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Dalam masa modern, apa yang dicapai perempuan Minangkabau tidak ada bedanya lagi dengan apa yang dicapai perempuan suku lainnya. Mereka dapat menjadi apa saja, siapa saja. Mereka dapat hidup di mana saja dan dalam kondisi apa saja. Mereka berani untuk berpikir terbalik dari pikiran-pikiran lama dan berbagai kemungkinan lain. Di dalam masyarakat modern, perempuan Minang sudah tidak ada bedanya lagi dengan perempuan suku lain. Kita tidak dapat membedakan lagi, itu perempuan Minang, atau itu perempuan bukan Minang. Tidak ada lagi faktor yang membedakan mereka secara fisik dengan perempuan lain. Namun, perbedaan yang mungkin akan terasa adalah pada; sikap hidup dan jalan pikiran. Sedangkan yang lain-lainnya sudah sama dengan yang lain.
Sikap hidup perempuan Minangkabau, bersikap terbuka dan selalu berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya. Perempuan Minang memerlukan dan diperlukan oleh suatu perkauman. Perempuan Minang memerlukan pengakuan atas keberadaannya tidak pada orang luar kaumnya, tetapi di dalam kaumnya sendiri. Di luar kaum dia dapat saja menjadi orang modern sebagaimana perempuan lain, tetapi di dalam kaum, dia harus menjalankan fungsinya dengan baik. Ini berarti, bahwa perempuan Minangkabau harus kembali kepada “asal”, “fitrah”, dan “kodrat” nya agar tidak menjadi sesuatu yang tidak sumbang, sesuatu yang seharusnya diwadahi oleh adat dan budaya Minangkabai itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa perempuan Minang pada hakekatnya tidak pernah peduli apakah dia berada di dalam alam tradisional atau di dalam alam modern. Di dalam alam tradisinya dia sudah hidup dalam sikap dan pandangan sebagaimana sikap dan padangan perempuan yang dikatakan modern itu. Yang membedakan antara kedua alam itu hanyalah tatacara dan citarasa. Sedangkan sikap hidup, pandangan hidup, dan cara berpikir tetap akan berbeda dengan perempuan lain. Perempuan Minang akan tetap memakai cara berpikir dan pandangan hidup yang berbeda dengan perempuan lainnya. Banyak sekali contoh-contoh dapat disajikan terhadap hal ini. Sebab, yang membedakan seseorang berasal dari suatu budaya tidak lagi dari segi bahasa, tatacara dan cita rasa, tetapi adalah dari sikap hidup, cara berpikir dan tinggi rendahnya kadar kepercayaan kepada agama yang dianutnya.
Cara berpikir dan sikap hidup perempuan Minang dengan perempuan lain pada hakekatnya merupakan naluri yang universal. Karena posisi budaya dan bahkan agama dalam pembentukan cara berfikir dan sikap hidup menjadi sangat penting. Semodern-modernnya perempuan Minang, dia belum akan mau melebur dirinya menjadi perempuan Jawa, perempuan Belanda, perempuan Jepang misalnya. Bahasa boleh sama, makanan boleh serupa, citarasa boleh disesuaikan, tetapi sikap hidup dan cara berpikir tetap akan berbeda.
Karakteristik perempuan Minangkabau
Karakteristik perempuan Minangkabau dapat ditelusuri melalui beberapa aktifitas masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya; (a) tingkah laku, bahasa dan sastra, nilai-nilai yang dianut dan (b) dalam berbagai kurun waktu; masa lalu dan masa kini dan untuk dapat memproyeksikannya ke masa depan. Kajian sosilogis historis ini mempunyai risiko kesalahan yang tinggi terutama karena kurangnya data pendukung. Namun dalam pembicaraan ini saya bertolak dari bahan-bahan yang ada pada saya. Saya bertolak dari tiga aspek saja;
1. Bahasa dan sastra
2. Kesejarahan
3. Sistim nilai.
Dari aspek bahasa dan sastra; bahasa dan sastra telah melahirkan legenda, mitologi dan cerita rakyat (kaba). Kemudian dalam bentuk-bentuk tertulis berupa novel, cerita pendek dan puisi. Dalam cerita rakyat (kaba) pola pikir perempuan Minangkabau dapat dilihat pada perilaku tokoh-tokoh perempuan yang bermain di dalam cerita itu. Mulai dari Bundo Kanduang dalam kaba Cindua Mato, Gondan Gandoriah dalam kaba Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dalam kaba Sabai Nan Aluih, kaba Lareh Simawang dan banyak lagi. Dari apa yang disampaikan di dalam kaba, karakteristik perempuan Minangkabau dapat disimpulkan;
1. Mempertahankan warisan, kedudukan dan keturunan. Untuk semua itu, perangpun akan ditempuhnya. (dalam kaba Cindua Mato)
2. Kesetiaan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bila dimungkiri akan terjadi sesuatu yang fatal (dalam kaba Anggun Nan Tongga dan Lareh Simawang)
3. Bila laki-laki tidak mampu berperan dan bertindak, perempuan akan segera mengambil alih posisi itu (dalam kaba Sabai Nan Aluih)
Dalam sastra modern, atau kaba yang telah dituliskan seperti; Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan banyak lagi, pola pikir perempuan Minangkabau tampak menjadi semakin maju, bahkan menjadi lebih agresif;
1. Menjaga kehormatan keluarga.
2. Menempatkan posisinya lebih kukuh lagi dalam keluarga kaum.
3. Terbuka menerima pikiran-pikiran baru dan modern
Dari aspek kesejarahan; karakteristik perempuan Minangkabau yang dapat ditelususi dari tingkah laku tokoh-tokoh seperti; Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu pewaris kerajaan Pagaruyung setelah Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda, yang memberikan jaminan nyawanya pada Belanda agar beberapa beberapa penghulu Tanah Datar terhindar dari hukuman gantung, Siti Manggopoh dengan gagah beraninya membunuh tentara Belanda, Rahmah El-Yunusiah memilih bidang pendidikan bagi kaum perempuan, Rasuna Said dalam dunia jurnalistik dan politik dan banyak lagi. Apa yang telah dilakukan tokoh-tokoh sejarah itu dapat dilihat bahwa pola pikir perempuan Minangkabau;
1. Bersedia berkorban apa saja untuk menjaga keturunan, kaum dan martabat negerinya.
2. Melihat ke masa depan dengan segera mengambil posisi sebagai tokoh pendidikan dan tokoh politik.
3. Menjadi pusat informasi (dengan terbitnya suratkabar perempuan Soenting Melayoe)
Dari aspek sistim nilai: karakteristik perempuan Minangkabau telah terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik) sedangkan laki-laki manager (pengurusan) terhadap semua aset kaumnya. Oleh karena itu sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana dan tegas terhadap putusan-putusan yang akan diambil.
Tantangan ke depan
Berdasarkan kepada apa yang telah dicatat baik dalam bentuk bahasa dan sastra, maupun dalam bentuk kesejarahan, pola pikir perempuan Minangkabau pada hakekatnya, tidak mengandung unsur-unsur egoisme, rendah diri atau penghambaan. Perempuan Minangkabau selalu berpikir bahwa dirinya adalah seorang mande, pusat dari segala kelahiran dan keturunan, kepemilikan aset kaum (sako dan pusako) yang harus dipertahankannya dengan cara apapun dan sampai kapanpun. Laki-laki atau suami baginya bukan penjajah, tetapi partner, kawan berkongsi (dalam kehidupan perkawinan). Oleh karenanya perempuan Minang tidak mengenal kata gender, dan tidak memerlukan perjuangan gender. Dia punya posisi yang sama dengan laki-laki. Perempuan Minang tidak rendah diri terhadap lakli-laki, suaminya atau hal-hal yang berada di luar dirinya. Dia sedia untuk menjadi pedagang bakulan di pasar, sedia menjadi raja, sedia menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, bahkan sedia untuk nekad dan kalau perlu bunuh diri dalam mempertahankan haknya atau sesuatu yang diyakininya, seperti dalam kaba Lareh Simawang itu misalnya.
Jika bertolak dari karakteristik yang telah disebutkan di atas, tantangan ke depan bagi perempuan Minangkabau pada hakekatnya tidak ada. Sudah sejak dulu mereka terbuka menerima pikiran-pikiran ke depan. Mereka sangat selektif dan arif terhadap pemikiran-pemikiran baru. Jika ada suatu pemikiran muncul untuk mengubah sistem matrilineal dengan alasan apapun, perempuan Minang akan bangkit mempertahankannya. Sistem kekerabatan itu sangat menentukan dan prinsipil; bagi eksistensi dirinya, kaumnya, sukunya dan seterusnya harta pusaka. Bila laki-laki tidak mampu berperan lagi dalam konteks persoalan apapun, perempuan Minang akan segera menggantikannya. Seorang suami, boleh pergi atau mati, tapi dia dan anak-anaknya akan tetap menjaga diri dan kehormatannya untuk melangsungkan kehidupan. Namun bila disakiti, dianiaya, diterlantarkan, disia-siakan, dia akan segera bereaksi; lunak ataupun keras, kalau perlu bunuh diri, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan laki-laki. Tindakan keras demikian mungkin mereka dapat dituduh sebagai seorang fatalis, tetapi pada hakekatnya mereka tidak mau menerima perlakuan yang tidak adil, dari siapapun juga.
Untuk menjelaskan lagi perbedaan karakteristik perempuan Minang adalah sebagai berikut; Seorang perempuan Minang selalu bertanya kepada suaminya yang baru pulang; “Baa kaba?” Bagaimana keadaan, apa yang telah terjadi di luar rumah? Dia ingin berbagi sakit dan berbagi senang terhadap apa yang dialami suaminya. Soal suaminya mau makan atau mau tidur adalah otomatis dan mutlak menjadi kewajiban seorang istri, perempuan Minang tak perlu menanyakannya lagi.
Sumbang bagi perempuan Minangkabau
Sesuatu perbuatan dapat dikatakan sumbang apabila tidak sesuai, tidak sejalan atau bertentangan dengan etika, norma, tata nilai yang telah berlaku dalam masyarakat. Sesuatu perbuatan atau perilaku perempuan Minangkabau dapat dikatakan sumbang apabila ada hal-hal yang tidak bersesuaian dengan apa yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sumbang itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan persoalan, terutama dalam masalah kecantikan, penampilan diri, peranan dan tingkah lakunya dalam kehidupan sosial dalam bermasyarakat atau bernagari dan hal lainnya.
Tentang kecantikan.
Dalam kosa kata Minangkabau tidak ada kata cantik. Karena tidak ada kosa kata demikian, secara hukum kebahasaan ataupun mengikut pada sosio-linguistik dapat dikatakan bahwa orang Minang tidak kenal dengan cantik, atau tidak mempermasalahkan benar akan hal kecantikan itu jika dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di Indonesia. Di dalam masyarkat Jawa misalnya, ada pakem atau bakuan untuk seseorang dapat dikatakan cantik. Dalam bahasa Minangkabau yang ada kata cantiak, atau contiak, yang artinya jauh berbeda dengan kata cantik yang dimaksudkan dalam bahasa Indonesia. Juga ada kata rancak, yang hampir mirip artinya dengan cantik. Tapi dalam kalimat mati karancak an, arti kata rancak menjadi lain pula.
Di dalam pepatah-petitih, maupun mamangan adat Minang, tidak ada disebut kata cantik, atau sebuah kata lain yang bermakna cantik. Kalaulah kata cantik dapat dipadankan dengan kata rancak, maka ungkapan yang ada dalam mamangannya adalah; condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak atau tampak rancak musajik urang, buruak tampaknyo surau awak. Jadi, jika merujuk kepada aspek kebahasaan; mamangan atau pepatah petitih adatnya, kecantikan bagi orang Minang bukan sesuatu yang dipermasalahkan, bukan sesuatu yang penting benar, bukan sesuatu yang menentukan apalagi peranannya dalam terbentuk suatu nagari.
Kecantikan, jelas ditujukan kepada kaum wanita. Ukurannya subjektif sekali. Ukuran kecantikan juga mengikuti selera zaman, bangsa atau kaum tertentu. Ketika Leonardo da Vinci hidup, kecantikan itu dilukisnya seperti Monalisa. Jika diukur menurut ukuran kecantikan sekarang, kecantikan Monalisa itu sangat tidak cantik lagi. Begitu juga kecantikan menurut ukuran masyarakat Indonesia masa dulu dan sekarang jauh berbeda. Dulu, di Indonesia yang dikatakan cantik adalah seseorang yang berwajah Indo, keBelanda-belandaan, sekarang yang berwajah keIndia-indiaan atau keMeksiko-Meksioan. Perempuan yang kakinya kecil dikatakan cantik pagi masyarakat Cina tempo dulu. Leher yang panjang dikatakan cantik bagi perempuan Negro pada zaman dulu. Tumit perempuan yang memerah bila menginjakkan kaki dikatakan cantik bagi orang Mesir abad pertengahan.
Oleh karena itu, kecantikan tidak punya ukuran baku, nilai akhir, karena semuanya itu bersifat sangat personal. Mungkin karena sifatnya yang temporer itu, maka adat Minangkabau tidak membuat bakuan tentang sesuatu yang disebut cantik. Dia menjadi sesuatu yang sumbang bila seorang perempuan lebih menampilkan kecantikannya dari tugas dan fungsinya sebagai perempuan, terutama dalam konteks berkeluarga dan dalam perkauman.
Tentang Penampilan Diri
Penampilan diri, atau keberadaan seseorang perempuan di tengah-tengah orang lain adalah sesuatu yang selalu diperkatakan. Penampilan yang tidak sempurna akan dapat merusak citra seseorang. Terutama bagi ibu-ibu atau perempuan Minang yang melakukan aktivitas luar rumah. Untuk kesempurnaan penampilan diri, berbagai cara dilakukan. Mulai dari nama yang dipakai, jenis aktifitas yang dilakukan, posisinya dalam aktifitas tersebut, sampai kepada pakaian. Nama misalnya, seseorang memerlukan legimitasi berupa nama, pangkat dan gelar suami, gelar kesarjanaannya yang telah diraihnya sendiri, gelar hajjah dan lainnya, agar dirinya terasa “berpenampilan” di antara yang lain. Sumbang kiranya bagi perempuan Minang meletakkan nama suaminya di belakang namanya sendiri, karena menurut ajaran adat dan agama selama ini tidak demikian. Jenis aktivitas juga menentukan; menghadiri acara di istana, bersama menteri atau presiden, gubernur, bupati, camat atau wali nagari. Begitu pula penampilannya sebagai guru, tokoh politik, akademisi, istri orang berpangkat tinggi dan sebagainya. Penampilan diri seorang perempuan Minang umumnya sangat menentukan dalam aktivitas demikian. Semua aktivitas tersebut tidak ada kaitannya dengan kecantikan. Sumbang bagi perempuan Minang ikut dalam acara demikian yang hanya untuk tampili begitu saja tanpa ada keperluan, fungsi, tugas yang berkaitan dengan aktivitas tersebut.
Penampilan diri diperlukan oleh setiap orang yang akan menampilkan diri, di manapun, dan dalam konteks apapun juga. Di dalam adat Minang, masalah penampilan diri bagi perempuan tidak pula pernah dijadikan suatu mamangan atau pepatah petitih. Sebab, perempuan tak dilazimkan untuk menampilkan dirinya dalam acara-acara yang umum sifatnya. Penampilan diri bagi perempuan terbatas pada acara-acara tertentu saja. Jadi, kalau dibuat ukuran sumbang dalam hal ini, sulit dicarikan rujukannya, penampilan diri yang bagaimana yang tidak sumbang, yang sesuai dengan adat Minangkabau.
Kalaupun ada yang mengatakan bahwa penampilan perempuan Minang itu seperti mamangan; unduang-unduang ka sarugo, atau acang-acang dalam nagari atau langkahnyo bak siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah dan sebagainya, itu merupakan ungkapan simbolik, bukan sebuah patron atau bakuan dalam adat.
Namun sekarang, peranan perempuan sudah jauh berubah. Mereka sudah dapat menjadi tokoh masyarakat, yang harus tampil dengan penampilan yang baik. Penampilan yang tidak sumbang itulah yang mungkin perlu dicari. Jadi, suatu penampilan yang baik bagi seorang perempuan, tentulah memenuhi kaidah-kaidah kesusilaan, kepantasan dan keindahan. Pakaian seorang artis penyanyi pop yang melakukan show-biz, tentulah tidak layak ditiru oleh seorang perempuan yang akan memberikan ceramah adat misalnya. Atau pakaian adat yang resmi, tentulah tidak sesuai pula bila digunakan untuk berjoget ria dalam acara-acara syukuran kenaikan pangkat suami atau acara perpisahan jabatannya.
Hal-hal yang ideal
Sungguhpun masalah cantik dan penampilan diri masih dilihat dalam kerangka kepentingan laki-laki, namun bagi kaum perempuan yang tidak cantik tidak perlu pula berkecil hati. Kecantikan fisik takkan bertahan lama. Laki-laki tak selamanya pula tertarik dengan kecantikan fisik. Ada hal-hal ideal yang perlu dipahami oleh seluruh perempuan Minang. Bahwa, kecantikan atau cantik itu tidak hanya terletak pada permukaan atau pada bentuk fisik, tetapi lebih utama terletak pada hal-hal yang berada di dalam diri seorang perempuan, pada jiwa atau pribadi. Seorang perempuan Minangkabau bagaimanapun cantiknya tetapi tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat mengimplementasikan kecantikannya dengan baik, cantik fisiknya akan tertimbun oleh ketidakcantikan dalam hubungan sosial. Di zaman serba modern ini, kecantikan fisik dapat ditambah kurangi dengan berbagai obat dan operasi plastik, tetapi kecantikan pribadi, tidak dapat ditambah kurangi dengan pembedahan jenis apapun, kecuali oleh pribadi dari individu itu sendiri. Kecantikan fisikal jika tidak disertai oleh pribadi yang terpuji, kecantikan itu akan menjadi kerabang saja, sama seperti orang memakai topeng. Sumbang.
Begitupun dengan penampilan diri. Penampilan diri seorang perempuan akan kukuh bila didukung keyakinan akan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Kecantikan hanya menjadi faktor kesekian saja dalam sebuah penampilan. Penyanyi-penyanyi negro yang hitam, berbibir tebal, rambut keriting cacing tetapi karena mereka berpenampilan kukuh, lebih memukau bila dibanding dengan penyanyi yang hanya mengandalkan wajah yang cantik, tanpa ekspresi, tanpa jiwa. Penampilan diri datangnya dari dalam, dari pribadi diri seseorang. Wibawa, kharisma, ditentukan oleh keyakinan dirinya terhadap kemampuannya, bukan oleh faktor-faktor luar lainnya.
Oleh karena itu, agar tidak dikatakan sumbang, seorang perempuan Minangkabau harus mengetahui dan menyadari betul bagaimana keberadaannya di tengah-tengah masyarakatnya, apalagi kalau dia berada dalam sebuah nagari.

KEKERABATAN
Kekerabatan; sebutan yang berakar pada kata karib; tepatnya qaf, ra dan ba; qaruba, qurbaan – wa qurbaanan, dari bahasa Arab dengan makna dekat, hampir atau sesuatu yang mendekatkan sesuatu pada lainnya. Dan telah jadi salah satu kosa-kata dalam bahasa Minangkabau. Dalam pengucapan sehari-hari bisa juga jadi karik, misalnya nan ba karik (kaum kerabat dekat). Atau dalam sebutan karik-ba ‘ik[1] (jauah – dakek; jauh dekat) ataupun karib kirabat sebutan untuk kerabat campuran berbagai kelompok .
Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, sebutan karib-ba ‘id dipakai dalam himpunan semua keluarga besar, Bukan saja se suku tetapi termasuk ipar besan (andan sumandan dan ando sumando), anakpisang (anak pusako, anak mamak) atau induak bako (kaum ayah) – bako-baki. Bila orang Minang berada di rantau -jauh atau dekat-, kadangkala sebutan karib-ba’id diperluas menjadi orang yang seasal nagari, sekecamatan, sekabupaten, sesama Minang atau malah asal ada bau-bau Minangnya;
Kekerabatan pada struktur masyarakat hukum adat Minangkabau akan terlihat berlapis-lapis dan berbidang-bidang, yaitu: la bisa di ungkap dalam hubungan nasab (turunan) menurut struktur budaya-adat Minangkabau yang matrilinel dengan sebutan nan batali darah dan dalam lingkungan yang terbatas antara orang-orang yang sekaum atau sesuku (gambar B). Akan terungkap dalam sebutan nan sajari, satampok, sajangka, sa eto dan seterusnya. Dan bias meliputi wilayah yang luas di beberapa nagari malah antar beberapa kabupaten kini dengan sebutan nan ba sapiah ba balahan, nan ba kuduang bakaratan; Pepatah menyebut, dakok mancari indu, jauah mancari suku.
Ia bisa diungkap dalam kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan anggota kaum yang lelaki sebagai biang kelahiran disebut induak bako atau yang pihak yang dilahirkan, disebut anak pisang (lihat Gambar A dan C)

2. Dengan penjelasan, tiga kelompok kaum, A, B dan C dengan fokus pada B, dalam perkawinan menurut budaya-adat Minangkabau yang matrilineal dan matrilokal (yaitu si suami tinggal di rumah isteri bersama mertuanya):
Secara umum, A, B dan C adalah berkerabat karena sebab perkawinan dan masing-masing kelompok berkerabat karena turunan matrilineal. Anak-anak kelompok B angka 3 (a-d) adalah anak pisang dari kelompok A. Perempuan (angka 4) dalam kelompok A dan angka 5 pada C dari sisi pandang kelompok B akan disebut pasumandan, kedua kelompok itu akan dihimbaukan sebagai andan sumandan, karena anak lelaki mereka (3a dan 3d) bersemenda ke kaum itu. Pada saat yang sama seluruh warga dari kelompok B akan disebut induak bako oleh anak-anak dari perempuan angka 4/A dan perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh anak-anak dari perempuan angka 4/A dan perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh warga kelompok B. Perkawinan antara lelaki angka 3a ke perempuan angka 4 atau lelaki angka 7 ke perempuan angka 6d akan disebut pulang ka bako, karena masing-masing mereka menikah dengan kemenakan ayahnya. Atau dari sisi pihak perempuan akan disebut ma ambiak (pulang) anak pisang. Demikian juga sebutan bagi hubungan lelaki angka 6a pada B yang menikah dengan perempuan angka 8 pada C, dari sisi B akan disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan angka 8/C akan disebut ma ambiak induak bako.
Dan bisa diungkap dalam bentuk kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek induak dan sebagainya. Dari perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau punya solusi penyelesaian. Yaitu dengan memasukkan calon menantu (lelaki atau perempuan) ke kaum induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila lelaki akan juga diberi gelar secara Minangkabau. Bila tidak demikian, menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam lingkungan kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah tangga dan keluarga mertuanya. Dimasa sebelum 50-an, saya banyak menemukan perantau lelaki etnis Cina atau etnis lain yang diterima sebagai kemenakan dan diberi suku sepanjang yang bersangkutan beragama agama Islam.
Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah Minang, secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang akrab dan membaur dan diakui menjadi masyarakat Minangkabau. Ini terlihat dari kedudukan Bustanil Arifin, SH, mantan Ka Bulog dan Menkop serta A.A. Navis di mata masyarakat Minangkabau sebagai sudah membaur. Demikian, bila Minangkabau dilihat dari sudut kebudayaan, bukan genealogis.
Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya (adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling memelihara. Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek -malam danga-dangakan atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang manjalang. Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota kaum, bukan saja agar tetap berhubungan dalam suka dan duka, tapi juga menumbuhkan kewajiban dan rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga atau mengontrol supaya jangan terjadi sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman sepergaulan pun. Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan ajaran dan anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.
Selain itu, terungkap juga dalam pepatah pola memelihara silaturrahmi antara kerabat (jauh dan atau dekat) salah basapo, sasek batunjuak-an; lupo bakanakan (ba ingek-an), takalok bajagokan. Sekaligus dapat disebut sebagai Kewajiban Azasi seperti yang diajarkan dalam Islam,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al’Ashr/3)
Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan saling tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.
Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi – nan tuo dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. “Bukanlah dari golongan kami, mereka yang tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran “. (HR Turmudzi dan Ahmad).[2]
NILAI KEKERABATAN
Nilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya. Bila seorang lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang sebagai tindakan baralah. Dengan demikian paham individualistis (nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.
Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau bukanlah kata tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan menanamkan sifat baralah atau mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki menghadapi saudara perempuannya. Namun pada saat yang sama menanamkan juga pentingnya rasa kebersamaan di antara mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam sepekuburan tersebut. Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di dalam nan saparinduan, (yang sekaum sepusaka – sepandam sepekuburan) atau yang sepesukuan (yang sepayung penghulu), yang se surau, se sasaran maupun yang se korong kampung – se tepian tempat mandi, yang se nagari dan seterusnya bisa meluas ke yang ba kuduang – nan bakaratan, basapiah nan babalahan dalam kadar yang wajar.
Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah ditanamkan juga sejak kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa ino sa main. Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat, yang akan membela kepentingannya bila berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap tagak di korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak di nagari mamaga nagari. Pepatah yang sering juga di salah artikan, seolah memberikan pembelaan kepada saudara atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata salah menurut ukuran umum. Sehingga masa kini pun masih kita saksikan terjadinya cakak ba kampuang, ba nagari hanya karena soal kecil. Rebutan sarang burung atau buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah induknya yaitu: syarak mangato – adat mamakai. Sesuai patron Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah. Dan itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.:
Bersabda Rasulullah saw: “Bantulah saudaramu yang menganiaya maupun yang teraniaya”; Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, aku -bisa- menolong yang teraniaya, lalu bagaimana aku -akan- menolong yang menganiaya ? “. Rasul menjelaskan: “Kamu mencegahnya dari perbuatan menganiaya, demikianlah bentukpertolongan kepadanya “.[3]
Hadits di atas dapat dibandingkan dengan lafaz berbeda karena langsung menyangkut masalah:
Sabda Nabi saw. “Tidak mengapa (saling bersorak, tapi) seseorang hendaklah menolong saudaranya yang menganiaya maupun yang dianiaya”. Dengan uraian penjelasan “Jika dia menganiaya, cegahlah dia; jika dia dianiaya bantulah dia”.[4]
Dengan demikian, pengertian tagak di korong mamaga korong, tagak disuku mamaga suku dstnya tersebut bukanlah dengan ikut masuk (terjun) dalam masalah yang sedang terjadi. Akan tetapi dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain dengan masing-masingnya menjaga prilaku supaya tidak memalukan korong atau suku nya. Juga dengan memberi nasehat pada sanak famili atau kaum kerabat supaya dalam bergaul dengan pihak lain akan selalu memelihara tingkah laku, jauh dari hal-hal yang bisa mengundang masalah dan memalukan korong kampung atau suku sebagai tindakan pencegahan. Selain itu, tindakan berupa aksi langsung memberikan perlindungan (jika mampu dengan kekuatan sendiri) atau memberikan pembelaan (dengan berbagai kemungkinan yang terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari, bila menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits: Siapa saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak balk (sebuah kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan kemampuan yang ada pada (tangan / kekuasaan) nya.[5] termasuk dalam pengertian ini.
Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam, bahwa malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-. Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan. Bahkan budaya Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan “co kambiang mangawan”[6] terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di tempat umum.
Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak (kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya bataratik atau kenal sopan santun. Dan ‘rang semenda akan diberi teguran oleh mamak rumah[7] nya secara kias, bila anak-anaknya berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab kelahiran dalam korong orang).
Selain hal-hal diatas, nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih; bidal), a.l: di cancang pua[8] – ta garik andilau[9]; (di cencang puar, tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau);
Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang (disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya, bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak melakukan teguran. Radius atau lingkaran yang merasa tersinggung akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa sosok atau tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional, maka yang akan merasa malu adalah semua orang Minang atau yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera Baratnya.
Sebaliknya, ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber gunjingan.
Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka – si cerek[10] ta bao rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);
Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman, meskipun dalam bentuk menanggung malu. Namun perlulah diungkapkan, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun dengan Firman Allah Swt:
(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari kalangan (sekitar) kamu [11].
Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban (hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat, teguran bahkan pencegahan secara langsung. Prinsip ini juga terlihat dianut oleh Hukum Pidana[12] yang berlaku di Indonesia, meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.
Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum, dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.
Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan, lupo manganakan dan seterusnya.
Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut dengan ajaran Islam sebagai sendi tempat tegaknya yang menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.
dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak atas dirimu. Maka tunaikanlah dengan benar -semua- hak-hak tersebut”. (HR Bukhari)[13] Atau dalam formula Minang akan disebut: “nagari ka samo kito uni, jalan ka samo kito tampuah “. Maksudnya adalah untuk mengingatkan masing-masing kita agar saling menjaga diri dan prilaku supaya pihak lain tidak dirugikan.
Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud, budaya Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang materi. Seperti rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama, rumah asal, tidak hams beratap gonjong), pandam pakuburan, sasok, surau, untuk kelompok kaum yang sepusaka atau sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya untuk kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah Singgalang, Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan lambang pengikat orang Minang secara keseluruhan.
ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG
1 . Ancaman Dan Tantangan.

ebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang terbentuk dan cara orang tua-tua masa lalu memelihara hubungan kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau, yang dilandasi pada raso jo pareso, sa ino samalu. Atau dalam kalimat yang lebih lugas, tenggang-manenggang. Dimasa lalu, hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal oleh ninik mamak peraangku adat, melalui berbagai instrumen tradisional. Antara lain terpusatnya sumber mata pencaharian anggota kaum (berupa harta pusaka), tatacara mencarikan jodoh (suami) atau menerima lamaran (untuk isteri) bagi anak-kemenakan, sekaligus sebagai ipar besan bagi kaum ada pada kewenangan Mamak Kepala Wans. Dan hubungan kekerabatan yang dipelihara untuk membuat setiap individu dalam kerabat itu merasa, aman dan diperlukan. Selain untuk mempertahankan diri sendiri dalam kebersamaan, juga untuk melindungi serta keutuhan kebersamaan dalam kekerabatan tersebut.
Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek samo dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan yang sering kita ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan masyarakat Minangkabau. Dan nampaknya sejalan dengan ajaran Islam atau memang bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan betapa pentingnya kebersamaan umat., bila kita simak hadits Nabi saw:
Barang siapa yang memisahkan dirinya dari jama’ah -walau-satu jengkal, berarti dia sudah melepaskan ikatan Islam dari lehernya. (HR Bukhari)[14].
Dan dalam konteks dengan kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau, mereka yang menyimpang dari kebersamaan yang telah dipolakan, akan terkena risiko dalam berbagai tingkatan. Sejak yang dikucil dari pergaulan sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai yang dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah, buang habis). Bila terkena hukuman adat yang terakhir ini, maka segala hak-haknya yang tumbuh karena hubungan adat akan dicabut.
Akan tetapi, masuknya budaya luar (sistem pemerintahan dan usaha) tentang sumber mata pencaharian, yang memungkinkan anak kemenakan bekerja sebagai pegawai, (negeri atau swasta) atau usaha-usaha yang non agrarisch lainnya, telah sekaligus merobah, setidaknya mempengaruhi struktur tradisional kekeluargaan orang Minangkabau. Semula berdiam di rumah orang tua, akan berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di atas bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang dibeli dengan hasil pendapatan sendiri. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan Mamak Kepala Waris terhadap anggota kaumnya tidak sama lagi dengan sebelumnya. Selain itu, peranan dan tanggung jawab seorang suami pada anak-isterinya pun mengalami perobahan 180°. Semua suami, yang juga adalah mamak dalam kaumnya sudah akan (hampir) sepenuhnya mengurus kepentingan keluarganya, tidak lagi seperti masa lalu, sibuk mengurus sawah ladang kaum orang tuanya. Sedangkan harta pusaka (collectief bezit), hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan (sertifikat) atas nama mereka masing-masing.
Perobahan-perobahan demikian, sekaligus juga merombak beberapa sisi beban tanggung jawab yang selama ini berada pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan. Sedikit atau banyak telah menggeser dan memberi peran kepada suami para kemenakan (urang sumando). Akan tetapi, sepanjang urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di kaumnya, jaringan kekerabatan seperti semula tidak akan mengalami gangguan, karena iapun masih harus bertenggang rasa dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.
Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total, apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam kebersamaan, betapa pentingnya rasa malu, berbasa-basi, bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah, apabila prilaku nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak surang secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah dirasa berat memberikan bantuan pada kaum.
Saya sendiri, sebagai advokat-pengacara, telah berkali-kali diminta ikut menyelesaikan kasus perkawinan dari mereka yang ber-sanak ibu (ibu mereka bersaudara handling). Satu di antaranya terjadi di antara warga dari salah satu nagari di Luhak Nan Tuo (Tanah Datar), meskipun kejadiannya di rantau. Agama Islam memang tidak melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh untuk saling kawin mengawini diantara mereka yang sekaum sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang dampaknya akan berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.
Lalu ada lagi sesebutan: kok indak ameh di pinggang -dunsanak jadi urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis, betapa akibatnya bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya). Seolah saudara-saudaranya akan menghindar darinya dan akan membiarkan diri melarat sendiri. Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu ditempatkan pada posisi yang benar.
Bahwa secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian. Pelajari saja dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat. Kewajiban dan menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada kemungkinan secara internal dan ekstemal. Bila hanya dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka yang membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim. Apakah dengan demikian, bagi yang masih belum mampu membayar zakat belum boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang perlu disimak, yaitu adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah bagi yang belum mampu secara objektif, berhak rnenerima zakat sebagai fakir atau miskin. Padahal semua kita tahu, baliwa Allah swt lebih menyukai Muslim yang kuat berbanding dengan Muslim yang lemah. Demikian, maka rukun zakat adalah rukun pendorong untuk membentuk sikap individu setiap Muslim supaya giat berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi pengemis.
Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung. Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pun. Harta kaum yang digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.
Peluang
Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa susahnya hidup sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang disindirkan gurindam lama nan ba taratak ba koto asiang – ba adat ba limbago surang, ba banak di ampu kaki, ba kitab di buku tangan, tantangan keadaan akan diolahnya menjadi peluang. Sa iriang anakjo panyakik – sa iriang padijo Siangan, sudah diamati dan dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas.. Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi rintangan. Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman, setelah mengalami betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta lumbuak hiduak di kelok kan, ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik ntndiang dinuinuangkan.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari pendapat yang saya kemukakan di atas, saya pulangkan saja pada kita bersama, karena yang disebut Minangkabau adalah kebersamaan kita. Raso di bao naiak, pareso di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut budaya – adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar selama ini akan kita pelihara dengan revisi penyesuaian disana-sini (usang-usang di barui, lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita biarkan saja perkembangannya pada generasi mendatang tanpa bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu dianggap saja sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.
Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang tua-tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang juga disebut khalifah. Dalam kata lain adalah subjek yang membentuk, bukan objek yang dibentuk. Generasi masa kini punya kewajiban untuk meninggalkan generasi penggantinya dalam keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah tantangan menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:
Hendaklah takut pada -azab dan kemurkaan Allah- semua mereka yang seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang mereka dalam keadaan yang serba lemah (baik ilmu, pisik, kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan politik.

Sumber: http://palantaminang.wordpress.com/minangkabau-dan-sistim-kekerabatan/