
Setelah Indonesia merdeka, Anas Nafis kembali bersekolah di SMA. Sebelumnya, saat masa
penjajahan Jepang, Anas sekolah di HIS Muhammadiyah,
Guguk Malintang. Sambil bersekolah, Anas yang menjadi siswa kelas III SMA itu,
juga sudah ikut mengajar sebuah SMP Swasta. Uniknya, SMA dan SMP itu satu
gedung sekolah. Pagi Anas menjadi siswa SMA, siangnya mengajar siswa SMP
tersebut. Tahun 1952,
Anas Nafis lulus ujian terakhir SMA.
Setelah lulus dari
SMA, Anas Nafis berencana menjadi guru di daerahnya. Hal itu disebabkan kondisi
ibunya, Sawiyah, yang hampir setahun menderita sakit. Namun, Uda-nya A.A Navis
menyuruhnya untuk terus melanjutkan sekolah.
Pertengahan
Juli 1952
Anas Nafis berangkat ke Jawa
untuk melanjutkan sekolah. Namun, saat masih berada di Jakarta,
tanggal 2 Agustus
1952, ibunya meninggal
dunia, A.A Navis melarangnya pulang dan memberinya semangat untuk terus
melanjutkan sekolah. Dengan perasaan campur aduk, Anas Nafis berangkat juga ke Yogyakarta
dan mendaftar di Universitas Gajah Mada.
Rasa rindu
bertemu saudara yang ditinggal ibunya, mendorong Anas kembali pulang kampung.
Desember 1955,
Anas menjejakkan kakinya Padang. Berbekal beslit guru yang diperolehnya, Anas Nafis
mengajar di Pariaman
dalam rangka pengerahan tenaga mahasiswa.
Sejumlah ide bisa mengalir dari cerita Anas Nafis.
Sastrawan A.A Navis
saat menulis novel Robohnya Surau Kami (1956) idenya berasal dari Merontokkan
Surau Anduang Montok Belakang Gudang. Ide yang muncul ketika mereka tinggal
di Padang Panjang. Selain peneliti, akademisi, seniman dan budayawan yang
meminjam referensi yang dimilikinya, pejabat daerah juga sering memanfaatkan
jasa Anas Nafis.
Selain
mengumpulkan literatur tentang Minangkabau
dan Sumatera
Barat, tahun 1987
Anas Nafis menggagas berdirinya Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang
Panjang. Niat itu mendapat sokongan dari mantan Kepala Bulog, Bustanil
Arifin. Kemudian dibangunlah rumah bagonjong untuk dijadikan museum
PDIKM yang sejak itu menjadi salah satu tujuan wisata utama Sumatera Barat.
Tahun 2004, 10 naskah cerita
rakyat Minangkabau yang ia sadur, diterbitkan Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM). Anas Nafis juga menulis
buku Peribahasa
Minangkabau
(1997) yang
sudah mengalami cetak ulang berkali-kali. Sejumlah skenario yang ditulisnya
sudah difilmkan di TVRI,
seperti Dang Tuanku (1975) dan Perang Kamang (1980), serta mengolah
cerita dan sinopsis film Palasik untuk RCTI (1997).
Tanggal 18 April 2007, pada pukul 08.00 WIB, dalam usia 75 tahun, Anas Nafis
pergi untuk selama-lamanya. Anas menghembuskan napas di rumahnya, sebuah rumah
kontrakan di Jl. Aua Duri No.3A Padang dan dimakamkan di TPU Tungguitam, Padang. AA
Navis Yang dikenal dengan cerita pendek nya “Robohnya Surau Kami”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar